Sumber hukum yurisprudensi pada dasarnya merupakan putusan dari
hakim-hakim tata usaha negara yang terdahulu dan sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), kemudian oleh hakim yang
lain digunakan sebagai dasar pertimbangan hukum untuk memutus suatu
perkara yang sama. Pengertian putusan sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap adalah para pihak yang bersengketa sudah tidak dapat menggunakan
hak untuk mengajukan upaya hukum atas putusan tersebut.
Hakim memandang bahwa pertimbangan hakim terdahulu dalam
mengambil putusan yang terdahulu patut dipedomani guna memutus suatu
kasus yang sama.
Menurut Siti Soetami,
36 motivasi hakim dalam
menggunakan yurisprudensi dapat disebabkan oleh:
a. alasan kesesuaian pendapat,
b. alasan kepraktisan,
c. alasan psikologis.
Pemanfaatan yurisprudensi sebagai sumber hukum secara umum
memang didasarkan adanya kesesuaian pendapat atas pendapat hakim yang
terdahulu. Kesesuaian terhadap pendapat tersebut khususnya dilakukan dalam
pertimbangan-pertimbangan yang digunakan hakim terdahulu. Kemudian,
diterapkan oleh hakim yang lain dalam kasus yang sama dengan kasus yang
ditangani hakim terdahulu.
Alasan lainnya bagi hakim yang menjadikan yurisprudensi sebagai
sumber hukum adalah alasan kepraktisan. Artinya, hakim merasa bahwa akan
lebih praktis dan mudah untuk menggunakan pertimbangan hakim yang lalu
serta telah memeriksa suatu perkara yang sama daripada hakim tersebut bersusah payah mencari dan berusaha menemukan hukum baru sendiri. Tentu
akan lebih mudah menggunakan putusan yang sudah ada dan sudah
berkekuatan hukum tetap.
Secara hakiki, hakim mempunyai kebebasan dalam memutus suatu
perkara berdasarkan keyakinan yang dimilikinya. Akan tetapi, hakim juga
manusia yang tetap terpengaruh secara sosial. Hakim yang lebih rendah
kedudukannya dibandingkan hakim tingkat banding, apalagi hakim tingkat
kasasi, tentu memiliki perasaan psikologis untuk mengikuti putusan hakim
yang lebih tinggi kedudukannya. Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa
Mahkamah Agung sering mengeluarkan SEMA (surat edaran Mahkamah
Agung) dan tentu saja diberlakukan bagi setiap hakim yang berada di
bawahnya daripada dirinya. Akibatnya, hakim di tingkat bawah secara
psikologis akan cenderung mengikuti putusan dan pertimbangan hakim yang
lebih tinggi kedudukannya.
Meskipun yurisprudensi dalam sistem hukum di Indonesia dikenal
dengan baik, pemberlakuannya adalah bebas. Dalam arti, bukan menjadi
suatu kewajiban bagi hakim yang ada pada tingkat paling rendah untuk
mengikuti putusan hakim yang tingkatannya lebih tinggi, seperti hakim
tingkat kasasi. Hal ini karena sistem hukum Indonesia tidak mengenal prinsip
stare decesis sehingga yurisprudensi bukan merupakan sesuatu yang wajib
diikuti, tetapi terserah pada kemauan dan keyakinan hakim untuk
mengikutinya.
Pemanfaatan yurisprudensi saat ini cukup berkembang. Hal tersebut
cukup mengembangkan pemahaman tentang ilmu hukum administrasi negara
sesuai perkembangan zaman. Sesuai sifatnya, hukum administrasi negara
memang tidak bisa statis dan harus berkembang bersama perkembangan
sosial budaya serta politik masyarakat dan negara itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar